🥃 Dampak Ketidakpuasan Daerah Terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat Adalah
Padadasarnya reformasi pelayanan publik yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah debirokratisasi, privatisasi, dan desentralisasi. Adapun debirokratisasi dilakukan untuk mendorong birokrasi pemerintah kembali kepada misi utamanya. Kemudian, privatisasi berfungsi untuk menstimulus pemerintah agar meningkatkan daya saing dan kualitas pelayanan, seperti sektor privat, kemudian berdampingan
Dampakketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat adalah - 9944075 etik8 etik8 21.03.2017 PPKn Sekolah Menengah Atas terjawab Dampak ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat adalah a. terwujudnya integrasi sosial b. timbulnya disintegrasi bangsa c. terciptanya ketahanan nasional
Ketidakpuasanmasyarakar menyebabkan emosi meluap dan kemudoan dilampiasakan pada tindakan pemebeeontakam dan kerusuhan. Dampak yang dianggap berbahaya dan dapat mengancam keutuhan NKRI. Dampak demokrasi liberal secara positif dan negatif bagi bangsa Indonesia. Tentu dapat menjadi sebuah pembelajaran dalam menerapkan sistem demokrasi yang dianut.
. JAKARTA - Undang-undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah HKPD telah disahkan di awal bulan ini melalui rapat paripurna DPR RI, Selasa 7/12/2021.Sejumlah aspek yang diatur dalam UU ini dinilai memiliki dampak baik positif maupun negatif terhadap ekonomi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah KPPOD menilai adanya UU HKPD diharapkan bisa melakukan reformasi fiskal daerah, yang belum bisa mandiri atau masih sangat bertumpu pada transfer dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan BPK di 2020, tercatat 443 atau 88,07 persen dari total 503 pemerintah daerah pemda masuk dalam kategori indikator kemandirian fiskal IKF 'belum mandiri'. Selain itu, 468 pemda atau sebesar 93,04 persen pemda tidak mengalami perubahan kategori sejak 2013 hingga pandemi Covid-19 pada 2020. Kendati pentingnya peran landasan hukum reformasi fiskal daerah, Analis Kebijakan KPPOD Eduardo Edwin Ramda menilai terdapat beberapa aspek dalam UU HKPD yang berpotensi untuk menimbulkan dampak positif sekaligus tersebut, jelas Edwin, meliputi upaya peningkatan pendapatan asli daerah PAD melalui skema opsen pajak, dan penguatan sistem insentif dalam transfer pusat ke JugaTitah Sri Mulyani Siapkan APBN dan TKDD untuk Tangani Erupsi Gunung SemeruFiskal Daerah Tak Kunjung Mandiri, KPPOD Harap UU HKPD Jadi Solusi"Ketika kita bicara dampak, ada dua perspektif mata pisau yang kita lihat dari sisi positif dan negatif," ujarnya pada webinar, Kamis 26/12/2021.Pertama, skema opsen berpotensi meningkatkan PAD, namun pengaturan sejumlah tarif pajak dan retribusi daerah PDRD ini juga berpotensi untuk menimbulkan beban ekonomi terhadap dunia usaha dan slum society atau masyarakat yang bermukin di kawasan opsen pajak ini bisa mewajibkan wajib pajak WP membayar setoran kepada dua pihak yaitu pemerintah provinsi dan kabupaten/ sebab itu, ada potensi peningkatan PAD dari skema bagi hasil administratif antara kedua level pemerintahan. Opsen pajak meliputi pajak-pajak tertentu seperti pajak kendaraan bermotor, bea balik kendaraan bermotor, dan pajak mineral bukan logam dan berpotensi meningkatkan penerimaan PDRD, opsen pajak yang diatur dalam UU HKPD dinilai multitafsir. Edwin mengatakan ada dua kemungkinan tafsir kebijakan opsen sesuai yang diatur dalam undang-undang, misalnya, tarif maksimal pajak kendaraan bermotor yang diatur sebesar 1,2 persen, dan akan dikenai opsen 0,66 pertama, jelas Edwin, adalah beban wajib pajak yang akan dibayarkan nanti adalah 1,2 persen tarif maks. pajak, ditambah 0,66 persen opsen atau 2/3 dari 1,2 persen tarif maksimal pajak."Ketika semua dijumlahkan, maka total beban wajib pajak menjadi 1,99 persen," kata tafsir kedua yaitu dari 1,2 persen tarif maksimal PKB, 0,66 persennya atau setara 0,79 persen dari perolehan pajak yang dibayarkan WP dialihkan ke pemerintah kabupaten/kota. Sisanya, 0,33 persen dari tarif maksimal atau setara dengan 0,41 persen perolehan pajak dari WP, kembali ke pemerintah provinsi sebagai pemegang kewenangan PKB."Ini akan menimbulkan pertanyaan, memangnya pemerintah provinsi mau mendapatkan hanya 0,41 persen [penerimaan pajak kendaraan bermotor], yang tadinya di UU PDRD mereka dapat sekitar 2 persen. Makanya, ini harus [diperjelas] dari sisi tafsir, definisi dari formulasi," skema transfer ke daerah TKD berbasis insentif dinilai bisa memacu kinerja daerah, namun di sisi lain skema dana bagi hasil DBH yang diatur dalam UU HKPD masih bersifat menilai jika pendekatan alamsentris sangat kental dalam skema DBH, maka hal ini bisa mendorong daerah untuk bertindak lebih eksploratif tanpa berpikir untuk beralih ke sektor lain."Dengan tujuan mereka semakin mengeskplorasi sumber daya alam tanpa memerhatikan kualitas lingkungan dan sumber daya alamnya, mereka akan mendapatkan DBH yang besar. Ini bisa jadi cara yang salah, karena tidak melihat fakta bahwa hari ini telah terjadi shifting dari sektor primer, ke sektor sekunder dan tersier," sisi lain, Edwin melihat bahwa UU HKPD belum memiliki kerangka pengawasan terhadap dana otonomi khusus otsus secara general, dana dana transfer dari pusat masih menjadi tulangg punggung keuangan itu, Edwin menyampaikan bahwa UU HKPD belum menawarkan perubahan yang signifikan dari pendahulunya yaitu UU 28/2009 dan UU 33/2004. Menurutnya, perubahan-perubahan dalam UU HKPD masih bersifat elementer, yaitu perubahan tarif dan nomenklatur, tanpa ada inovasi sistem yang baru untuk meningkatkan pendapatan daerah."Padahal sebenarnya ada opsi-opsi lain misalnya optimalisasi pajak pertambahan nilai terhadap pajak daerah. Banyak sebenarnya opsi-opsi lain yang belum ada di UU HKPD," Keuangan Sri Mulyani menilai desain UU HKPD tidak hanya menyentuh alokasi fiskal tetapi juga memperkuat belanja daerah agar efisien, fokus, dan memiliki sinergi dengan belanja pemerintah pusat."Patut dipahami bersama bahwa kebijakan yang diusung dalam RUU HKPD ini merupakan ikhtiar bersama dalam peningkatan kualitas pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia," ujar Sri juga menyampaikan bahwa penyederhanaan jenis pajak dan retribusi daerah dalam RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah HKPD berpotensi mendorong kenaikan pendapatan asli daerah PAD hingga 50 Mulyani menjelaskan, salah satu pilar dari RUU HKPD adalah untuk memperkuat reformasi perpajakan dan retribusi daerah melalui penyederhanaan jenis dari pajak dan retribusi daerah. Dalam RUU tersebut, jenis pajak daerah akan diturunkan dari 16 menjadi 14 jenis, sedangkan retribusi daerah dari yang sebelumnya 32 menjadi 18 jenis. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Editor Hadijah Alaydrus Konten Premium Nikmati Konten Premium Untuk Informasi Yang Lebih Dalam
[ad_1] Jakarta, NU Online Pada era Presiden KH Abdurrahman Wahid Gus Dur telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dasar hukum itu disebut juga sebagai UU Otonomi Khusus Otsus. Kini UU Otsus sudah hampir dua puluh tahun berjalan, tapi di Bumi Cendrawasih itu masih saja muncul suara-suara tuntutan ketidakpuasan. Padahal sudah ada UU Otsus yang seharusnya, secara konsep, mampu mengatur hidup dan kehidupan rakyat Papua. Penulis buku Gus Dur Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka Ahmad Suaedy menjawab, karena pemerintah hanya melakukan tiga dari delapan unsur penting yang terdapat di dalam UU Otsus itu. Tiga unsur yang sudah dilakukan pemerintah itu pun masih sangat jauh dari kenyataan. Pertama, soal dana Otsus. Menurut Suaedy persoalan ini sangat rumit diselesaikan. Sebab terjadi banyak korupsi, penyelewengan, dan penindasan. Dengan kata lain, wajar saja jika rakyat Papua kerap menyuarakan ketidakpuasan terhadap UU Otsus. Penyebabnya adalah karena terjadi pemangkasan dana dari pemerintah sendiri. Kedua, Majelis Rakyat Papua MRP. Secara konsep, kata Suaedy, MRP ini sangat bagus karena mewadahi tradisi Papua yang cenderung informal dalam pergaulan sosial-politik. Di MRP, terdapat ketua adat yang mewadahai para pemimpin yakni utusan adat, utusan agama, dan utusan perempuan. “Di sinilah Papua sebenarnya jauh lebih maju dari daerah mana pun. Karena tidak ada sebuah lembaga yang secara eksplisit menempatkan perempuan sebagai unsur utama dari tiga unsur utama itu. Papua justru menjadi pelopor dalam hal ini,” ungkap Suaedy dalam Ziarah Pemikiran Gus Dur dan Papua pada Sabtu 12/12 lalu. Hanya saja, lanjutnya, pada periode kedua berjalannya UU Otsus, terjadi proses Litsus sebuah ungkapan sebuah penyaringan pada zaman orde baru. Di periode pertama, kata Suaedy, rekrutmen berjalan sangat baik karena masyarakat dibebaskan untuk bergabung dengan MRP. “Tapi periode kedua dan ketiga, ada semacam Litsus. Jadi orang yang masih menawar dan mengritisi pemerintah itu tidak bisa masuk. Padahal MRP ini didesain untuk memperdebatkan sesuatu yang belum selesai. Misalnya di dalam UU 21 itu ada tentang klarifikasi sejarah,” jelasnya. “Bagi persepsi semua orang pemimpin negara sekarang ini, klarifikasi sejarah itu seolah identik dengan tuntutan merdeka,” sambung Suaedy. Namun bagi Gus Dur, tidak ada hal yang tidak bisa diselesaikan dengan damai. Soal klarifikasi sejarah yang terdapat di dalam salah satu pasal di UU Otsu situ, menurut Gus Dur, pasti akan bisa diselesaikan. Gus Dur beranggapan bahwa soal sejarah itu pasti akan bisa diselesaikan dengan kompromi. Sedangkan di dalam konflik, pasti terdapat jarak perbedaan pendapat 180 derajat. Misalnya aktivis Papua ingin merdeka, tapi pemerintah Indonesia ingin bersatu. Itulah 180 derajat. “Dalam proses dialog, semakin lama akan semakin menipis. Lalu menjadi nol derajat. Itulah yang seharusnya terjadi pada UU Otsus itu. UU Otsus berangkat dari perbedaan pendapat 180 derajat,” ungkap Anggota Ombudsman RI ini. “Tapi satu tahun kemudian, November 1999 hingga November 2000 terjadi proses kebebasan berpendapat yang sangat luar biasa. Saya melakukan penelitian bahwa tidak ada kekerasan pada saat itu. karena ada kebebasan. Jadi semua orang bisa bicara apa saja,” imbuhnya. Menurut Gus Dur, orang ingin merdeka dan mendiskusikan tentang kemerdekaan tidak bisa dilarang. Gus Dur memperbolehkan orang Papua untuk berfikir dan berdiskusi. Sebab yang tidak boleh adalah menyatakan kemerdekaan. “Maka dalam satu tahun itu, orang sangat bebas. Tapi tidak ada satu pun kelompok yang mendeklarasikan kemerdekaan. Karena dialog terus terjadi,” tutur Suaedy. Jadi, jika saat ini ada suara dari rakyat Papua yang tidak butuh pembangunan maka itu adalah suara keras. Namun kata Suaedy, kalimat yang lebih tepatnya adalah Papua tidak cukup dengan pembangunan tetapi harus ada martabat kemanusiaan untuk orang Papua. Ketiga, soal hukum adat. Di dalam UU Otsus, persoalan hukum ada sudah sangat jelas diatur. Menurut Suaedy, aturan soal hukum adat di Papua sebenarnya sama dengan syariat Islam di Aceh. “Syariat Islam di Aceh dibiayai dengan besar. Ada strukturnya, hakim dan UU-nya. Tapi kenapa di Papua tidak demikian? Ini kan masalah besar,” ucap Suaedy. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dibentuk tujuh wilayah adat di Papua. Namun Suaedy mengaku pernah datang ke beberapa wilayah adat tersebut dan tidak menemukan ada fasilitas apa pun. “Seharusnya kan mereka di Papua misalnya ada kantor, gaji, hakim, struktur birokrasi. Sebagaimana syariat Islam di Aceh. Tapi kenapa di Papua tidak begitu?” pungkas Suaedy, mempertanyakan. Pewarta Aru Lego Triono Editor Fathoni Ahmad [ad_2] Source link
– Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia PRRI adalah gerakan pertentangan antara pemerintah RI dan daerah. Gerakan ini muncul pada 1950 di Sumatera. PRRI muncul karena ketidakpuasan di daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat saat itu. Perlawanan PRRI dan upaya penumpasannya diyakini menimbulkan korban hingga puluhan ribu jiwa. Latar belakang Pascakemerdekaan, kondisi pemerintahan belum stabil. Kesejahteraan dan pembangunan di awal kemerdekaan masih sangat pembangunan di Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya memicu sentimen bahwa daerah "dianaktirikan". Sentimen ini kemudian melahirkan upaya-upaya revolusi di daerah. Pada Agustus dan September 1956 beberapa tokoh dari Sumatera Tengah mengadakan rapat dan pertemuan di Jakarta. Pertemuan itu dilanjutkan dengan reuni 612 perwira aktif dan pensiunan Divisi Banteng pada 20-25 November 1956 di Padang. Divisi IX Banteng adalah komando militer Angkatan Perang Republik Indonesia APRI yang dibentuk pada masa perang kemerdekaan 1945-1950 dengan wilayah Sumatera Tengah Sumatra Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau. Dalam reuni itu muncul aspirasi otonomi untuk memajukan daerah. Disetujui pula pembetukan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein, komandan Resimen IV dan tetorium I yang berkedudukan di Padang. Pada tanggal 20 Desember 1956, Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dalihnya gubernur yang ditunjuk pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan Ahmad Husein mengklaim Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia PRRI terbentuk sejak 15 Februari 1958. Baca juga Awal Berdirinya Gerakan Permesta Tuntutan PRRI mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah pusat, yaitu Dibubarkannya Kabinet Djuanda Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX membentuk pemerintahan sementara sampai pemilihan umum berikutnya akan dilaksanakan Soekarno kembali pada posisi konstitusionalnya. Tuntutan lain yang juga diajukan oleh PRRI yaitu terkait dengan masalah otonomi daerah dan perimbangan ekonomi atau keuangan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat dianggap tidak adil kepada para warga sipil dan militer soal pemerataan dana pembangunan. Sehingga mereka menuntut agar pemerintah bisa bertindak lebih adil, khususnya pada pemerataan dana pembangunan di daerah.
dampak ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat adalah